Fitnah
Bertebaran
Korban
fitnah sering kali dicap sebagai kelompok berbahaya. Misalnya, orang-orang yang
difitnah sebagai musuh revolusi akan berakhir mati. Penindasan sosial dari
masyarakat selama puluhan tahun. Ini juga berlaku untuk keluarganya.
Yang
menyedihkan adalah, bahwa masyarakat mencintai gosip dan fitnah. Keduanya
menjadi bagian dari industri hiburan dunia. Fiksi dan fakta bercampur baur,
tanpa bisa dipisahkan. Orang tertawa bahagia melihat orang menderita, akibat
fitnahan yang dituduhkan padanya. Gosip dan fitnah, yang seringkali bertaut
erat tak terpisahkan, laku terjual di seluruh dunia, bagaikan kacang goreng.
Para
pelaku fitnah biasanya menyerang kehidupan pribadi seseorang. Di dalam fitnah,
kehidupan sosial dan kehidupan pribadi bercampur baur secara membingungkan. Para
pemfitnah seperti orang yang kelaparan. Mereka lapar untuk melihat kehancuran
orang atau kelompok lain. Mereka lapar menyebar kebohongan dan penderitaan.
Mereka memperoleh kenikmatan, persis ketika kehancuran terjadi.
Sekarang
ini, kita kesulitan untuk memisahkan antara kenyataan dan fitnah. Media bermain
di garis batas yang tak pernah jelas antara fitnah dan kebenaran. Tujuannya
bisa politis, atau untuk memuaskan kepentingan maupun dendam pribadi. Apapun
itu, kebohongan yang tersebar akan menjadi racun bagi kehidupan bersama.
Di
era digital dan jaringan sosial ini, fitnah bertebaran di udara, bagai debu di
jalanan ibu kota. Kebohongan begitu cepat tercipta dan tersebar. Kita, ataupun
keluarga maupun teman kita, kerap menjadi korban dari fitnah yang tanpa ampun
tersebut. Apa yang sebaiknya dilakukan, ketika ini terjadi?
Bagaimana
cara menghadapi fitah itu sendiri? Ada beberapa langkah yang bisa diambil di
hadapan fitnah. Yang pertama adalah tetap tenang. Ketenangan ini berakar pada
kejernihan hati dan pikiran. Keduanya berakar pada pemahaman tentang siapa diri
kita sebenarnya. Filsafat Timur, terutama Zen, amat membantu di dalam hal ini.
Yang
kedua adalah menghadapi si pemfitnah secara langsung dengan kejernihan hati dan
pikiran. Kita perlu menjelaskan duduk perkara sebenarnya, baik kepada si
pemfitnah maupun kepada masyarakat luas. Kita jelaskan seperlunya, tanpa
terlihat ingin membela diri. Jika si pemfitnah tidak mau mendengar, dan tetap
menyebarkan kebohongan dan kebencian, maka tinggalkan saja dia.
Yang
ketiga adalah belajar dari pengalaman yang ada. Kita perlu belajar, mengapa
kita difitnah pada awalnya. Pelajaran tersebut membantu kita untuk bertambah
bijak dan dewasa di dalam menanggapi berbagai peristiwa kehidupan. Sejauh bisa
dihindari, sumber tindakan yang mengundang fitnah memang sebaiknya dijauhi.
Yang
keempat adalah dengan melepas segala dendam. Ketika difitnah, kita seringkali
ingin menyerang balik dengan menggunakan fitnah balasan, atau bentuk-bentuk
kekerasan lainnya. Ini bukanlah jalan yang tepat. Dendam akan melahirkan rantai
kekerasan dan penderitaan yang tak ada habisnya. Maka, ia sebaiknya dihindari.
Yang
kelima adalah dengan maju terus di dalam karya dengan kejernihan hati dan
pikiran. Fitnah kerap kali membuat kita sedih, menderita dan putus asa.
Perasaan tak berharga dan tak berdaya muncul tanpa diundang. Namun, jika kita
kembali ke saat ini, dan menyadari jati diri sejati kita, kejernihan akan
membuat kita mampu menanggung segala penderitaan dengan sabar dan damai.
Bahkan,
kita bisa menjadikan fitnah dan penderitaan yang kita alami sebagai dasar untuk
membantu orang lain merenungkan arti kehidupan yang sesungguhnya. Fitnah dan
derita bisa menjadi teman kita untuk semakin bijak dan penuh welas asih di
dalam kehidupan. Inilah ilmu tertinggi yang bisa diperoleh manusia. Ketika
pohon semakin tegak perkasa berdiri, angin juga menghantam semakin kencang,
seperti fitnah menghantam seseorang yang berhasil meniti hidupnya ke titik yang
tinggi. Apa yang tercipta pasti akan musnah. Itulah hukum baja kehidupan yang
tak bisa dilawan. Yang penting adalah kita bisa menemukan kedamaian dan
kejernihan di dalam hati kita saat demi saat di dalam hidup.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar